Alasan Kita Harus Berterima Kasih Kepada Jokowi

Penulis : Dhiya Muhammad Dzaki

OPINI

10/3/20253 min read

Tidak bisa dipungkiri, Jokowi adalah salah satu presiden yang paling populer dalam sejarah Indonesia modern. Dari gaya blusukan, bahasa sederhana, hingga citra “merakyat”, ia hadir membawa harapan besar. Banyak rakyat yang percaya padanya, bahkan meyakini bahwa masa pemerintahannya akan menjadi titik balik bangsa ini. Dari mobil nasional, swasembada pangan, sampai pembangunan ibu kota baru—semua terdengar seperti mimpi besar yang akhirnya akan terwujud.

Tetapi sejarah punya cara sendiri untuk menguji janji-janji politik. Seiring berjalannya waktu, berbagai komitmen yang dulu dielu-elukan, kini lebih sering menjadi bahan diskusi kritis, bahkan guyonan di media sosial. Justru di sinilah, tanpa disadari, kita belajar banyak hal dari Jokowi: bahwa demokrasi bukan hanya tentang percaya, tetapi juga tentang berani mengawasi dan menagih janji.

Mobil Esemka
Ketika meresmikan pabrik Esemka pada 2019, Jokowi menegaskan:

“Kalau beli barang dari produk lain ya kebangetan apalagi yang impor.” 1

Ucapan itu membakar semangat nasionalisme. Namun pada kenyataannya, mobil Esemka hanya memproduksi model “Bima” dengan penjualan tak lebih dari 100 unit per tahun menurut data Gaikindo. Produk yang diharapkan jadi mobil nasional, justru dipandang sebagai rebadge mobil China.

Pertumbuhan Ekonomi 7%
Dalam debat capres 2014, Jokowi optimistis:

“Level pertumbuhan ekonomi itu bukan hal yang mustahil … kalau iklim investasi regulasi dibenahi.” 2

Rakyat kala itu percaya, 7% bukanlah mimpi. Namun data BPS menunjukkan realitas lain: rata-rata pertumbuhan hanya sekitar 5%. Angka yang stabil, tapi jauh dari janji.

Kedaulatan Pangan
Masih segar dalam ingatan ketika Jokowi berkampanye:

“Kita harus berani menghentikan impor, kita harus berani swasembada pangan, karena kita punya lahan, kita punya petani, kita punya sumber daya.” 3

Fakta berbeda: impor beras, gula, garam, dan kedelai tetap tinggi sepanjang dua periode pemerintahannya. Harapan swasembada berubah menjadi ironi.

Revolusi Mental
Dalam pidato kenegaraan 2015, Jokowi menekankan:

“Revolusi mental itu untuk membangun manusia Indonesia yang berintegritas, beretos kerja, dan bergotong royong.” 4

Namun evaluasi Bappenas menyebut, program ini tak lebih dari jargon tanpa indikator nyata. Ia menjadi slogan besar yang menguap di udara, tanpa pernah betul-betul mengubah perilaku sosial.

IKN Nusantara
Di Istana Negara pada 2022, Jokowi menyatakan:

“Tahun 2024 sebagian kantor pemerintahan sudah bisa pindah ke sana (IKN).” 5

Kenyataannya, progres pembangunan baru sekitar 40% di 2024. Istana Presiden belum selesai, dan pemindahan ASN baru dijadwalkan 2025 ke atas. Ambisi besar kembali berhadapan dengan realitas lapangan.

3 Juta Lapangan Kerja
Dalam kampanye 2019, Jokowi menjanjikan:

“Kita targetkan 3 juta lapangan kerja baru setiap tahun, agar bonus demografi tidak terbuang.” 6

Namun BPS mencatat, rata-rata hanya sekitar 2,5 juta per tahun, bahkan 2020 justru kehilangan 2,67 juta pekerjaan.

Apakah semua ini berarti Jokowi gagal total? Tidak sesederhana itu. Keberhasilan infrastruktur, pengendalian pandemi, hingga popularitasnya menunjukkan sisi lain. Tetapi janji-janji yang tidak terpenuhi ini menyimpan pelajaran penting: bahwa demokrasi bukan soal menunggu pemimpin bekerja, melainkan kewajiban warga untuk terus kritis.

Plato sudah mengingatkan sejak ribuan tahun lalu: “The price good men pay for indifference to public affairs is to be ruled by evil men.” 7 Jika kita apatis, maka kita sendiri yang akan ditindas oleh penguasa.

Hannah Arendt pun menegaskan: “The most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution.” 8 Jokowi adalah bukti nyata dari kata-kata itu: dari simbol perubahan, ia berubah menjadi simbol status quo.

Maka benar adanya: kita harus berterima kasih kepada Jokowi. Bukan karena ia menepati janji, melainkan karena ia mengajarkan bahwa harapan tanpa kritik hanya akan melahirkan kekecewaan. Demokrasi hidup justru ketika rakyat berani menagih janji dan menjaga jarak kritis dari kekuasaan.

  1. “Luncurkan Mobil Esemka, Presiden Jokowi: Kalau Beli Barang Produk Lain ya Kebangetan,” Setkab RI, 6 September 2019.

  2. “Jokowi: Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen Bukan Mustahil,” Liputan6, 15 Juni 2014.

  3. “Jokowi Janjikan Swasembada Pangan,” Tempo, 5 Juni 2014.

  4. “Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi 2015,” Sekretariat Presiden, 16 Agustus 2015.

  5. “Jokowi Pastikan IKN Siap 2024,” Kompas, 2022.

  6. “Jokowi Janjikan 3 Juta Lapangan Kerja per Tahun,” Detik, 24 Maret 2019.

  7. Plato, Republic, Buku I.

  8. Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, 1951.