BADKO HMI JAWA BARAT MENOLAK REVISI UU TNI : ANCAMAN TERHADAP SUPREMASI SIPIL DAN DEMOKRASI

OPINI

Admin

3/23/20254 min read

Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menandai babak baru dalam konfigurasi politik-ketatanegaraan Indonesia. Langkah ini tidak hanya mengundang polemik akademik, tetapi juga memantik keprihatinan serius terkait arah demokrasi yang semakin mengalami defisit normatif. Proses legislasi yang berlangsung dalam koridor hermetisme politik—minim transparansi dan tanpa deliberasi publik yang substansial—menunjukkan bahwa reposisi militer dalam struktur sipil bukan sekadar wacana eksperimental, melainkan strategi terencana yang berpotensi mengikis prinsip supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.

Substansi revisi UU TNI yang membuka kembali ruang bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan-jabatan sipil di berbagai sektor pemerintahan menandai rekonstruksi laten Dwi Fungsi ABRI. Model ini dikemas dalam bentuk yang lebih subtil namun tetap problematis dibandingkan dengan era Orde Baru. Langkah ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip hubungan sipil-militer yang ideal dalam demokrasi konstitusional, tetapi juga menciptakan intervensi struktural yang mengancam keseimbangan distribusi kekuasaan antara aktor sipil dan militer.

Dalam konsepsi demokrasi deliberatif, keberadaan militer dalam struktur sipil harus memiliki batasan yang jelas guna menghindari militerisasi birokrasi yang mengarah pada military corporatism. Konstitusionalisasi keterlibatan militer dalam jabatan sipil justru menandakan regresi demokrasi yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar adaptasi institusional, tetapi merupakan anomali normatif yang mengaburkan batas antara peran pertahanan dan pemerintahan.

Perubahan ini berisiko menciptakan dual authority syndrome, di mana dominasi militer dalam ranah sipil menghasilkan asimetri kepemimpinan yang bertentangan dengan prinsip checks and balances dalam demokrasi. Ketika supremasi sipil hanya menjadi retorika tanpa implementasi konkret, maka demokrasi kehilangan esensinya sebagai sistem yang berbasis pada kontrol rakyat terhadap otoritas negara.

Analisis Pasal-Pasal Krusial dalam Revisi UU TNI

1. Pasal 47 Penempatan Prajurit Aktif dalam Jabatan Sipil

Revisi pada Pasal 47 memperluas daftar kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI. Sebelumnya, hanya 10 instansi yang dapat diisi oleh prajurit aktif, namun kini jumlahnya bertambah menjadi 16, termasuk Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, dan Bakamla. Perluasan ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran ganda militer (dwifungsi) seperti pada era Orde Baru. Penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil dapat mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan administrasi sipil, berpotensi mengurangi akuntabilitas dan kontrol sipil atas militer. Hal ini juga dapat menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.

2. Pasal 3 Kedudukan TNI dalam Sistem Ketatanegaraan

Perubahan pada Pasal 3 menekankan bahwa TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan yang tunduk pada kebijakan dan keputusan politik negara. Meskipun secara normatif TNI ditempatkan di bawah kontrol sipil, perluasan peran militer dalam jabatan sipil dapat melemahkan kontrol tersebut. Hal ini berpotensi menciptakan dualisme otoritas dan mengurangi efektivitas pemerintahan sipil dalam mengawasi dan mengendalikan militer.

3. Pasal 7 Penambahan Tugas Operasi Militer Selain Perang

Revisi pada Pasal 7 menambahkan dua tugas baru bagi TNI dalam operasi militer selain perang, yaitu membantu menanggulangi ancaman siber dan melindungi serta menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Penambahan tugas ini mencerminkan respons terhadap ancaman non-tradisional. Namun, tanpa delineasi yang jelas, terdapat risiko ekspansi peran militer ke ranah sipil yang dapat mengganggu keseimbangan hubungan sipil-militer.

4. Pasal 53: Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit

Perubahan pada Pasal 53 meningkatkan usia pensiun bagi perwira tinggi TNI dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Perpanjangan usia pensiun dapat berdampak pada regenerasi dan dinamika kepemimpinan dalam tubuh TNI. Hal ini harus disertai dengan evaluasi kinerja yang ketat agar tidak menghambat promosi dan pengembangan karier perwira yang lebih muda.

BADKO HMI Jawa Barat menilai bahwa disahkannya revisi UU TNI merupakan bentuk distorsi historis yang mengabaikan esensi reformasi dan berpotensi menjadi preseden berbahaya bagi demokratisasi di Indonesia. Ketua Umum BADKO HMI Jawa Barat, Siti Nurhayati, menegaskan:

"Pengesahan revisi UU TNI bukan sekadar tindakan legislasi biasa, tetapi merupakan langkah sistematis yang mengikis supremasi sipil dan membuka ruang bagi hegemoni militer dalam birokrasi sipil. Jika reformasi 1998 mengajarkan kita bahwa demokrasi hanya dapat berkembang dalam sistem di mana sipil memegang kendali atas militer, maka revisi ini justru menandai pergeseran menuju state militarization."

BADKO HMI Jawa Barat, sebagai bagian dari elemen intelektual yang berkomitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan supremasi sipil, dengan tegas menyatakan bahwa revisi UU TNI merupakan ancaman terhadap prinsip fundamental tata kelola negara yang demokratis. Oleh karena itu, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menolak Revisi UU TNI sebagai Ancaman terhadap Supremasi Sipil dan Demokrasi

BADKO HMI Jawa Barat dengan tegas menolak revisi UU TNI yang membuka kembali ruang bagi militer untuk berperan dalam jabatan-jabatan sipil. Kebijakan ini merupakan bentuk regresi demokrasi yang bertentangan dengan semangat reformasi 1998 dan berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer dalam wajah baru. Kami menilai bahwa supremasi sipil harus tetap dijaga sebagai prinsip utama dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia.

2. Mendesak Presiden untuk Menerbitkan Perppu sebagai Langkah Mitigasi Konstitusional

Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai langkah darurat guna membatalkan revisi UU TNI yang berpotensi mengganggu keseimbangan relasi sipil-militer dan membuka ruang bagi kemunduran demokrasi. Penerbitan Perppu ini menjadi keharusan normatif dalam rangka melindungi supremasi sipil sebagai pilar utama negara hukum.

3. Mendorong DPR untuk Melakukan Legislative Review demi Menjamin Konsistensi Demokrasi

DPR sebagai representasi rakyat harus menjalankan fungsi legislasi dengan prinsip akuntabilitas dan deliberasi publik yang substansial. Oleh karena itu, BADKO HMI Jawa Barat menuntut adanya legislative review terhadap revisi UU TNI guna meninjau kembali implikasi normatifnya terhadap sistem ketatanegaraan dan demokratisasi politik di Indonesia. Langkah ini diperlukan untuk memastikan bahwa regulasi yang disusun tidak bertentangan dengan amanat reformasi dan prinsip supremasi sipil.

Pengesahan revisi UU TNI bukan sekadar perubahan teknis dalam regulasi militer, tetapi merupakan redefinisi radikal terhadap relasi sipil-militer dalam sistem demokrasi Indonesia. Jika sejarah mengajarkan bahwa militerisasi politik hanya menghasilkan stagnasi demokrasi dan reduksi kebebasan sipil, maka membiarkan revisi ini berjalan tanpa resistensi kritis sama saja dengan menerima penghapusan bertahap supremasi sipil sebagai prinsip utama tata kelola negara.

BADKO HMI Jawa Barat menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya soal institusi, tetapi juga tentang keberanian kolektif untuk mempertahankannya. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil harus bersatu dalam mengawal kebijakan ini, agar demokrasi menjadi sistem yang berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jangan biarkan demokrasi dikooptasi oleh kekuatan yang ingin menghidupkan kembali praktik otoritarianisme dalam wajah baru!

Oleh : SITI NURHAYATI
(KETUA BADKO HMI JAWA BARAT)