BADKO HMI JAWA BARAT MENOLAK RUU POLRI: DEMI MENJAGA DEMOKRASI DARI EKSPANSI OTORITARIANISME
OPINI


Dalam dinamika legislasi yang tengah bergulir, Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU POLRI) mencerminkan suatu konstruksi normatif yang sarat akan problematika fundamental. Terdapat 13 pasal krusial yang berpotensi besar menggiring institusi kepolisian ke arah ekspansi kewenangan yang berlebihan, mengancam prinsip demokrasi, serta mengabaikan akuntabilitas institusional.
1. Pasal 5 Ayat (1) – Memberikan ruang multitafsir bagi Kepolisian dalam menafsirkan perintah negara tanpa mekanisme kontrol yang jelas.
2. Pasal 15 Ayat (2) Huruf (e) – Memungkinkan kepolisian untuk terlibat dalam aktivitas intelijen tanpa batasan yang tegas, membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
3. Pasal 16 – Memperluas cakupan tindakan kepolisian dalam penyadapan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
4. Pasal 18 – Mengatur penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang cenderung represif tanpa kejelasan parameter yang membatasi.
5. Pasal 28 Ayat (1) – Mengizinkan kepolisian untuk bekerja sama dengan organisasi tertentu tanpa transparansi publik.
6. Pasal 33 Ayat (3) – Membuka peluang bagi kepolisian untuk mengintervensi urusan sipil di luar koridor hukum yang proporsional.
7. Pasal 34 – Memungkinkan pembentukan satuan kepolisian di tingkat daerah tanpa mekanisme koordinasi yang ketat dengan pemerintah daerah.
8. Pasal 38 Ayat (1) – Mengatur rekrutmen dan promosi jabatan yang rentan terhadap praktik nepotisme dan oligarki internal.
9. Pasal 41 Ayat (2) – Memberikan kewenangan luas kepada kepolisian untuk mengatur anggaran secara otonom tanpa mekanisme pengawasan yang rigid.
10. Pasal 44 Ayat (3) – Berpotensi menjadikan kepolisian sebagai institusi yang memiliki kemandirian absolut tanpa check and balance.
11. Pasal 50 Ayat (1) – Mengatur pemberian fasilitas khusus kepada kepolisian yang dapat menciptakan ketimpangan antara institusi penegak hukum lainnya.
12. Pasal 56 Ayat (2) – Memberikan perlindungan hukum yang berlebihan kepada anggota kepolisian tanpa pertanggungjawaban etik yang jelas.
13. Pasal 72 – Memberikan kekuasaan kepada Kapolri untuk menetapkan kebijakan yang dapat berimplikasi pada independensi lembaga lain.
Dengan mencermati problematika yang terkandung dalam pasal-pasal di atas, BADKO HMI Jawa Barat menilai bahwa RUU POLRI tidak hanya berpotensi menghambat proses demokratisasi, tetapi juga membuka celah bagi konsolidasi kekuatan negara dalam satu institusi yang rawan terhadap penyalahgunaan wewenang. Hal ini menjadi ancaman serius bagi prinsip negara hukum yang demokratis.
Pernyataan Ketua Umum BADKO HMI Jawa Barat, Siti Nurhayati:
“RUU POLRI dalam format yang ada saat ini merupakan manifestasi nyata dari kecenderungan otoritarianisme yang dikemas dalam dalih reformasi kepolisian. Perlu ada penolakan tegas terhadap pasal-pasal yang membuka celah abuse of power serta menempatkan kepolisian di atas supremasi hukum. BADKO HMI Jawa Barat mendesak agar revisi dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip checks and balances dalam negara hukum.”
Sikap BADKO HMI Jawa Barat:
1. Menolak dengan tegas RUU POLRI dalam formatnya yang sekarang karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
2. Mendesak DPR RI untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pasal-pasal yang berpotensi memperbesar otoritarianisme kepolisian.
3. Menuntut transparansi dalam pembahasan RUU ini dengan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi hukum.
4. Mengajak seluruh elemen mahasiswa dan pemuda untuk mengawal isu ini secara aktif demi menjaga integritas demokrasi.
5. Mendorong reformasi kepolisian yang berorientasi pada profesionalisme, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
BADKO HMI Jawa Barat menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh dikorbankan demi ekspansi kewenangan institusional. Reformasi kepolisian harus berjalan dalam koridor demokrasi, bukan malah menjadi alat legitimasi otoritarianisme baru.
Oleh : SITI NURHAYATI
(KETUA BADKO HMI JAWA BARAT)