Bahlil Bilang Tak Ada Tambang di Raja Ampat, Tapi Kenapa Hutan dan Laut Mulai Rusak?
POLITIK


Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, kembali menjadi sorotan setelah menyatakan bahwa "tidak ada tambang di Raja Ampat." Pernyataan tersebut sontak menuai kritik dari masyarakat sipil, aktivis lingkungan, serta tokoh adat Papua. Pasalnya, bukti-bukti justru menunjukkan adanya aktivitas dan izin pertambangan di wilayah yang terkenal dengan keanekaragaman hayati lautnya tersebut.
“Kalau katanya tidak ada tambang, lalu kenapa perusahaan bisa pegang izin tambang di tanah adat kami?” ujar seorang tokoh adat dari Pulau Kawe, Raja Ampat.
Pulau Kawe yang masuk wilayah Raja Ampat adalah salah satu titik panas konflik tambang nikel. Wilayah ini sempat diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Anugerah Surya Pratama (ASP), padahal Pulau Kawe termasuk dalam zona konservasi perairan dan wilayah kelola masyarakat adat.
Ironisnya, perusahaan tersebut sebelumnya sempat kehilangan izinnya pada 2022 karena masuk dalam daftar pencabutan IUP oleh pemerintah. Namun belakangan, pemerintah justru kembali mengaktifkan izin tersebut dan diduga akan memberikan ruang eksploitasi tambang di kawasan sensitif tersebut.
Konflik Kepentingan dan Krisis Kepercayaan
Pernyataan Menteri Bahlil tidak hanya dianggap menyesatkan, tapi juga memperlihatkan adanya upaya sistematis untuk menghapus jejak-jejak perizinan tambang yang bermasalah di wilayah Raja Ampat. Padahal, dokumen resmi seperti SK Menteri ESDM, data Badan Geologi, dan laporan WALHI mencatat adanya 25 IUP di Raja Ampat pada periode 2010-an. Beberapa di antaranya masih aktif hingga kini.
Bahlil sendiri diketahui berasal dari Fakfak, Papua Barat, dan sering menggunakan pendekatan “putra daerah” untuk membenarkan kebijakan pro-investasi di Papua. Namun bagi banyak masyarakat adat dan pegiat lingkungan, kebijakan ini justru dianggap mengkhianati prinsip keberlanjutan dan kedaulatan rakyat Papua atas tanahnya.
“Kami tidak anti-investasi. Tapi tambang bukan solusi di tanah kami. Raja Ampat harus dilindungi, bukan dijual,” tegas perwakilan Koalisi Tolak Tambang di Raja Ampat.
Pemerintah Daerah Juga Menolak
Sikap Pemerintah Kabupaten Raja Ampat sendiri cukup tegas. Bupati Raja Ampat dan DPRD telah menyatakan penolakan terhadap segala bentuk tambang di wilayah mereka. Bahkan surat resmi telah dikirimkan ke Kementerian Investasi dan Presiden, menyatakan bahwa keberadaan tambang akan mengancam sektor pariwisata, budaya lokal, dan keberlanjutan ekosistem laut Raja Ampat.
Namun hingga kini, sikap pusat belum berubah. Menteri Bahlil tetap menyatakan bahwa tidak ada aktivitas tambang, meski kenyataannya izin-izin tambang terus dihidupkan kembali.
Mengapa Ini Berbahaya?
Raja Ampat dikenal sebagai “The Last Paradise on Earth”, rumah bagi 75% spesies karang dunia dan ribuan spesies laut. Ekosistemnya menjadi laboratorium hidup dan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat adat melalui perikanan tradisional dan ekowisata.
Masuknya industri ekstraktif seperti tambang nikel justru akan membawa dampak permanen: kerusakan hutan lindung, pencemaran laut, konflik sosial, hingga hilangnya ruang hidup masyarakat adat. Kerusakan di satu titik bisa berdampak luas karena Raja Ampat adalah satu kesatuan ekosistem.
#SaveRajaAmpat dan Tuntutan Publik
Gelombang penolakan kini semakin luas. Kampanye #SaveRajaAmpat digaungkan oleh masyarakat sipil, akademisi, tokoh adat, hingga aktivis muda. Tuntutan mereka jelas:
Cabut izin tambang di Raja Ampat.
Hentikan manipulasi data dan narasi publik.
Kembalikan kedaulatan ruang kepada masyarakat adat.
Jadikan Raja Ampat wilayah bebas tambang secara hukum.
“Bicara tambang di Raja Ampat bukan cuma soal ekologi. Ini soal masa depan, soal hak hidup, soal martabat masyarakat adat. Dan kita semua harus bersuara.” – Koalisi Masyarakat Sipil Papua.