Kenapa Pertanyaan soal MBG Bikin Kartu Liputan Wartawan Dicabut?

Penulis : Dhiya Muhammad Dzaki

POLITIK

9/30/20252 min read

Kabar tentang pencabutan kartu liputan seorang wartawan hanya karena pertanyaannya menyentuh isu MBG membuat publik terhenyak. Seolah-olah, ruang bertanya yang semestinya terbuka lebar dalam demokrasi justru dipersempit dengan cara yang begitu mudah. Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan penjelasan, malah dijawab dengan pencabutan hak. Ini seperti ketika seorang murid mengangkat tangan di kelas untuk bertanya kepada gurunya, tetapi bukannya diberi penjelasan, ia justru disuruh keluar dari kelas. Murid bisa saja diam setelah itu, tetapi apa jadinya pendidikan kalau bertanya dianggap salah?

Analogi ini sederhana: pertanyaan adalah kunci untuk membuka ruang pengetahuan. Persis seperti orang yang berjalan di malam gelap dengan membawa lampu kecil, ia mungkin hanya menerangi beberapa langkah di depan, tetapi tanpa lampu itu perjalanan akan lebih berbahaya. Wartawan dengan pertanyaannya membawa lampu kecil itu bagi publik. Jika lampu itu dipadamkan dengan alasan "tidak pantas", maka yang sebenarnya terjadi adalah membiarkan publik tetap berjalan dalam gelap.

Pencabutan kartu liputan bukan sekadar soal administrasi. Ia adalah simbol bagaimana kekuasaan memperlakukan ruang publik. Demokrasi ibarat sebuah rumah besar, dengan banyak pintu dan jendela agar udara segar bisa masuk. Wartawan adalah salah satu jendela itu. Jika jendela ditutup rapat hanya karena angin yang masuk terasa dingin, maka rumah itu lambat laun akan pengap, dan penghuninya sendiri yang kesulitan bernapas. Pertanyaan kritis bukanlah badai yang merobohkan rumah, melainkan angin segar yang mengingatkan agar rumah terus terjaga.

Kasus ini pun menunjukkan betapa rapuhnya toleransi terhadap kritik. Dalam masyarakat yang sehat, kritik diolah menjadi refleksi. Sama seperti tubuh yang merasa sakit ketika ada luka: rasa sakit itu bukan musuh, melainkan tanda agar kita berhati-hati dan memperbaiki. Jika wartawan dicabut kartunya karena melontarkan kritik, itu sama saja dengan mematikan syaraf perasa agar tubuh tidak merasa sakit lagi. Memang tidak ada rasa nyeri, tapi luka bisa membusuk tanpa disadari.

Dengan demikian, yang terancam hilang bukan hanya kartu liputan seorang wartawan, melainkan juga ruang publik untuk mendapat jawaban. Masyarakat tidak lagi melihat bagaimana kekuasaan menjawab pertanyaan sulit, melainkan hanya melihat bagaimana kekuasaan menutup telinga. Padahal, demokrasi tumbuh bukan dari jawaban yang mudah, tetapi dari pertanyaan yang sulit. Jika pertanyaan dihalangi, demokrasi hanya tinggal papan nama tanpa isi.

Momen ini mestinya menjadi pengingat: wartawan tidak sedang mencari sensasi dengan bertanya, melainkan sedang menjalankan mandat publik. Mencabut kartu liputan berarti memutus jembatan antara rakyat dengan kekuasaan. Dan ketika jembatan itu putus, yang hilang bukan sekadar hak seorang wartawan, tetapi juga hak masyarakat untuk tahu. Dalam ruang demokrasi, pertanyaan tidak seharusnya ditakuti. Sebaliknya, ia adalah tanda bahwa rakyat masih peduli.