KEPALA BABI: SIFAT KEBINATANGAN REZIM TERHADAP DEMOKRASI

OPINI

Admin

3/26/20253 min read

Titik Paham Demokrasi Kita

Dalam diri manusia memang terdapat sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan yang bergumul, berdialektika menciptakan sintesa kepribadian yang kerap dinilai secara serampangan oleh orang lain. Tuhan memfirmankannya secara epik dalam wajah setan dan wajah malaikat. Secara proses evolusi manusia pun, sifat kebinatangan (setan) dan sifat kemanusiaan yang baik (malaikat) dipermaklumi sebagai rangkaian dari proses mencari dan menemukan homo sapiens agar ia dapat relevan dan terus tumbuh di tengah dunia yang semakin abu-abu.

Sebelum adanya negara, proses evolusi manusia yang begitu banal dan mengerikan setidak-tidaknya digambarkan oleh Hobbes melalui Leviathan dan kredo: hommo homini lupus, menggambarkan perlu adanya pengikat moral yang menjadi dasar dari pelaksanaan kehidupan manusia. Sebabnya, proses menemukan manusia dalam tataran sosial, berbangsa dan bernegara selalu mengarah pada sintesa untuk memperoleh persamaan dan kesetaraan.

Demokrasi kemudiannya disempurnakan oleh para pendukung-pendukungnya, kecacatan yang pernah menjadi kawan karib demokrasi sejak semula telah coba dihilangkan, banalitasnya yang mengorbankan Socrates dimatikan menuju pada kegemerlapan habits of the hearts sebagaimana dipaparkan Toucqville untuk menciptakan masyarakat plural dan toleran yang dipandu atas dasar kesetaraan dan persamaan tadi. Meski, kerap kemudian dibatalkan dengan persyaratan prosedural electoral threshold yang menjadikan demokrasi tidak sampai pada kaidah etisnya; dari, oleh dan untuk rakyat.

Di sinilah letak kita menengok kembali secara reflektif kenapa pada akhirnya demokrasi musti untuk ditegakkan. Ia, memang bukan sistem terbaik yang menjamin manusia pada kemakrifatan hidup dan menanggalkan sifat kebinatangan yang menemaninya, demokrasi juga tidak selalu merta akan membuat setiap warga negara bahagia. Tetapi, hanya kepada demokrasilah setidaknya di jaman kita sekarang yang menjadi norma peradaban modern dan paling memungkinkan untuk menjaga semangat kemanusiaan yang ada; kesetaraan dan persamaan serta kedaulatan warga negara sebagai basis pelaksanaan ontologisnya.

Kematian Demokrasi Indonesia atau Indonesia Mati tanpa Demokrasi?

Sebagai suatu bangsa yang juga terikat oleh suatu tujuan bersama yang belum tiba (ontology of the not yet) Indonesia mencoba menerapkan demokrasi sebagai bagian dari sistem sosial, berbanga dan bernegara yang mengharuskannya untuk menjaga kedaulatan warga negara dan tesis pelaksanaannya tetap hidup dan menumbuhkan. Meski, belakangan kita menilai upaya ke sana ternyata tak pernah ada, upaya ke sana hanyalah ada di menara gading pengetahuan semata.

Ontologi sekaligus epistemologi tentang keindonesiaan kita pada akhirnya bersemayam dalam ungkapan; inikah kematian demokrasi Indonesia? atau memang kita sebagai bangsa mati tanpa demokrasi? Sederet kekecewaan dan bercucurannya kehampaan di dalam bernegara kita secara kulminatif telah menyodorkan pernyataan itu sebagai bagian, entah sebagai apa; ungkapan harapan atau hanya sekadar kenangan bahwa bangsa ini secara an sich pernah mencoba menghidupkan demokrasi secara murni.

Perbuatan-perbuatan yang mengangkangi dan menelanjangi demokrasi telah dilakukan rejim sejak lama bahkan barangkali sebagai negara kita tidak pernah menerapkan demokrasi sejak dari semula; Soekarno mengebiri demokrasi bahkan dengan atasnama demokrasi, Soeharto mematikan serta melenyapkan demokrasi dan era reformasi pun hanyalah pengulangan singularitas tadi.

Kejadian-kejadian terbaru; pengaturan permainan elektoral yang dirubah sewenang-wenang, pembuatan kebijakan yang tidak berlatarbelakang pada partisipasi publik dan keterbukaan serta upaya menjegal demokrasi melalui penjaga-penjaganya adalah preseden buruk dalam pelaksanaan demokrasi kita yang ugal-ugalan dan serampangan.

Kepala Babi dan Simbol Kebinatangan Rezim

Penjegalan pers sebagai penjaga demokrasi dilakukan dengan cara represif penuh ancaman dengan pengiriman kepala babi dan tikus tanpa kepala adalah simbol dari kematian demokrasi itu sendiri, rakyat menangkap; bukan babi yang dipenggal kepalanya, tetapi ia adalah bentuk metafora dari rakyat yang dicerabut kehormatannya.

Ini tentu bentuk pelanggaran kedaulatan warga negara yang dijamin oleh demokrasi untuk tetap hidup; pemberangusan pers pernah terjadi di era-era lama, kebebasan berbicara telah sering diambil oleh penguasa; hari ini, nampaknya kita kembali ke masa yang lampau mematikan demokrasi dan menghidupkan otoritarianisme.

Supremasi sipil dan penegakan hukum yang dipastikan dan diharuskan oleh demokrasi terancam melalui sederetan represifitas terhadap mereka yang menginginkannya. Secara zahir, kita menengok pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo adalah simbol dari kelaliman yang tumbuh kembali pada tubuh rezim hal ini harus disadari rakyat dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya.

Penyadaran itu untuk menjauhkan rakyat dari segala bentuk sifat kebinatangan rejim yang sedari lama telah disebut akan menjelma menjadi Leviathan, suatu monster laut yang membahayakan para nelayan, tetapi, Leviathan itu tak berani mencangkol pagar laut, ia hanya berani menakut-nakuti mereka yang lemah, menghisap darahnya dan memakan dagingnya.

Di sinilah urgensitas demokrasi dengan tesis persamaan dan kesetaraannya harus dihidupkan kembali untuk mencapai habits of the hearts sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Toucqville agar kedaulatan warga negara tidak terancam dan dimatikan oleh para wakil-wakilnya. (*)

Oleh : ISMA MAULANA IHSAN
(Ketua Umum PP HIMAT, Peneliti BelajarPolitik dan Wakil Bendahara umum Bidang Politik Demokrasi KNPI Kabupaten Cianjur.)