Ketua DPD KNPI Cianjur: KNPI Alami Kemunduran, Harus Kembali Fokus pada SDM dan IPP

Penulis : Riksa I.P. SE. M.IP. (Ketua DPD KNPI Cianjur)

OPINI

9/30/20253 min read

Ketua DPD KNPI Cianjur, Muhammad Riksa Iman Pribadi (Riksa), menyuarakan sebuah kegelisahan yang sesungguhnya bukan hanya milik dirinya, melainkan juga milik sejarah panjang kepemudaan di Indonesia. Ia menegaskan bahwa Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), organisasi yang sejak kelahirannya pada 23 Juli 1973 di Jakarta diproyeksikan sebagai “rumah besar” bagi segala macam identitas, latar belakang, dan cita-cita pemuda, kini tengah mengalami kemunduran yang begitu nyata. Bagi Riksa, gejala kemunduran ini bukanlah sekadar persoalan teknis organisasi, melainkan sebuah krisis eksistensial yang lahir dari retaknya kepengurusan di tubuh Dewan Pengurus Pusat (DPP), yang berimplikasi pada lahirnya banyak versi kepemimpinan. Dengan kata lain, KNPI yang dahulu berdiri sebagai simbol pemersatu, kini justru tercerai-berai oleh pertarungan kepentingan internal.

“KNPI hari ini jelas mengalami pelemahan dan kemunduran akibat perpecahan di tubuh DPP. Padahal sejak awal, KNPI dibangun untuk menjadi rumah besar bagi seluruh organisasi kepemudaan. Bukan malah tercerai-berai karena kepentingan internal,” tegas Riksa, Kamis (19/9).

Pernyataan ini memuat kritik yang lebih dalam daripada sekadar penilaian. Di dalamnya terdapat sebuah refleksi bahwa organisasi kepemudaan bukanlah sekadar wadah administratif, melainkan sebuah entitas yang memikul tanggung jawab moral. KNPI, yang lahir dari semangat persatuan lintas golongan, ideologi, dan profesi, sejatinya dimaksudkan sebagai laboratorium kaderisasi: tempat di mana gagasan ditempa, karakter diasah, dan kepemimpinan bangsa dipupuk sejak dini. Dari rahim KNPI inilah telah lahir banyak tokoh bangsa yang kemudian memberi arah bagi perjalanan Republik. Maka ketika wadah ini justru terjebak dalam perpecahan, seolah sejarah panjangnya dipatahkan oleh tangan-tangan yang mengutamakan kepentingan sesaat.

Riksa mengingatkan, sejak awal KNPI dirancang sebagai organisasi independen. Independensi bukanlah pilihan teknis, melainkan ruh yang menjaga agar KNPI tidak larut dalam arus politik praktis. Sebab begitu independensinya tergadaikan, maka organisasi pemuda ini akan kehilangan daya kritis dan kekuatan moralnya. Dalam pandangan Riksa, loyalitas tertinggi KNPI bukanlah pada figur atau partai politik tertentu, melainkan pada cita-cita bangsa: membangun persatuan, memperkuat karakter, dan menyiapkan generasi emas yang kelak mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan nasional.

Namun, realitas hari ini berbicara lain. Konflik berkepanjangan di tingkat pusat telah membuat KNPI kehilangan relevansi. Indonesia, di tengah arus globalisasi dan tantangan modernitas, justru membutuhkan kekuatan kolektif pemuda yang solid. Pemuda, yang selama ini selalu diidentikkan dengan energi perubahan, kini seakan kehilangan pusat gravitasi untuk menyatukan langkahnya. “KNPI seharusnya fokus pada penguatan sumber daya manusia (SDM) dan mendorong peningkatan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP). Itu agenda besar yang lebih penting ketimbang sibuk dengan konflik internal,” lanjut Riksa.

Di balik kritiknya, Riksa tidak ingin terjebak pada pesimisme. Ia masih menyimpan harapan, bahwa KNPI bisa diselamatkan. Harapan itu ia titipkan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI yang baru, Erick Thohir. Baginya, Erick bukan hanya sosok dengan kapasitas manajerial yang mumpuni, tetapi juga seorang pemimpin yang memiliki visi strategis. Kehadirannya di Kemenpora bisa menjadi jembatan untuk mengembalikan KNPI pada marwahnya sebagai mitra pemerintah yang solid, independen, dan relevan dengan kebutuhan zaman.

“Kami meminta Menpora Erick Thohir untuk mengambil langkah nyata menyatukan KNPI. Organisasi ini harus kembali pada marwahnya: independen, solid, dan menjadi mitra pemerintah dalam menyiapkan generasi emas Indonesia 2045,” ungkap Riksa dengan penuh penekanan.

Dalam pandangan filosofis, KNPI hari ini sedang diuji oleh paradoksnya sendiri: organisasi yang lahir untuk menyatukan pemuda, justru rapuh karena perpecahan. Namun, setiap krisis menyimpan potensi kelahiran baru. Jika KNPI mampu melakukan refleksi mendalam, menjaga independensinya, dan mengalihkan fokus pada pembangunan manusia, maka organisasi ini dapat bangkit dari keterpurukan. KNPI tidak sekadar relevan kembali, tetapi bisa bertransformasi menjadi kekuatan strategis yang memberi arah bagi masa depan bangsa.

Optimisme ini bukan tanpa dasar. Sejarah Indonesia membuktikan bahwa pemuda selalu hadir di titik-titik paling krusial: dari Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, hingga Reformasi 1998. Maka, jika semangat yang sama bisa dihidupkan kembali dalam tubuh KNPI, bukan mustahil organisasi ini akan menjadi salah satu motor penggerak Indonesia menuju cita-cita besar: Generasi Emas 2045.

Bagi Riksa, kebangkitan KNPI adalah sebuah keniscayaan—selama independensi dijaga, konflik dihentikan, dan arah organisasi difokuskan pada pembangunan SDM. Dari situlah akan lahir kontribusi nyata, bukan hanya bagi kepemudaan, tetapi bagi masa depan bangsa secara keseluruhan.