Mahasiswa Tolak RUU TNI Ditangkap dan Diminta Tebusan Rp12 Juta, Polisi Bilang Begini
POLITIK


Pres Metro Jakarta Timur menepis kabar viral yang menyebut bahwa Polsek Cakung menangkap lima mahasiswa dan meminta uang tebusan sebesar Rp12 juta.
Informasi ini sebelumnya beredar melalui akun X jurnalceritaa, yang menyatakan bahwa salah satu mahasiswa dari Universitas Moestopo telah berhasil dibebaskan.
Namun, Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, memastikan bahwa berita tersebut tidak benar.
"Kami tegaskan bahwa Polsek Cakung, yang berada di bawah yurisdiksi Polres Metro Jakarta Timur, tidak pernah menangkap lima mahasiswa, termasuk Muhammad Nabil Rafiudin, terkait aksi unjuk rasa menolak RUU TNI di wilayah hukum Polres Jakarta Pusat," ujar Nicolas, Senin (24/3).
Ia juga menegaskan bahwa kabar mengenai permintaan uang tebusan dari pihak kepolisian adalah hoaks.
"Kami pastikan informasi yang beredar di media sosial mengenai permintaan uang tebusan adalah tidak benar," lanjutnya.
Penangkapan yang Sebenarnya
Di sisi lain, Nicolas menjelaskan bahwa Polsek Cakung memang pernah menangkap empat orang terkait aksi tawuran yang terjadi pada 16 Februari 2025. Namun, kasus ini tidak ada kaitannya dengan demonstrasi menolak RUU TNI.
"Pada 16 Februari 2025, Polsek Cakung menangkap empat orang karena terlibat tawuran di wilayah Cakung. Kasus ini sama sekali tidak berkaitan dengan aksi unjuk rasa yang terjadi di Jakarta Pusat," katanya.
Ia juga mengimbau kepada masyarakat yang memiliki informasi mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang oleh anggota Polsek Cakung untuk segera melaporkannya ke Propam Polres Metro Jakarta Timur atau Propam Polda Metro Jaya.
Demonstrasi Menolak RUU TNI
Sebelumnya, mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil menggelar aksi demonstrasi di sekitar Gedung DPR pada Kamis (20/3) sebagai bentuk penolakan terhadap RUU TNI.
Para demonstran mengkritik bahwa pembahasan RUU tersebut berlangsung terburu-buru dan kurang transparan. Mereka juga menilai revisi ini dapat membuka kembali ruang bagi dwifungsi militer dalam kehidupan sipil.
Namun, meski mendapat penolakan, pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUU TNI dalam rapat paripurna ke-15 masa sidang II 2024-2025 pada Kamis pagi.
Poin-Poin Kontroversial dalam RUU TNI
Revisi UU TNI ini memuat sejumlah perubahan yang menuai kritik, di antaranya:
1. Pasal 7 – Mengatur tugas dan fungsi baru TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang dianggap membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan militer dalam urusan sipil.
2. Pasal 47 – Mengizinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan di 14 instansi sipil, meningkat dari sebelumnya hanya 10 instansi.
3. Pasal 53 – Memperpanjang batas usia pensiun bagi anggota TNI dengan sistem klaster, di mana tamtama dan bintara, perwira menengah, serta perwira tinggi memiliki batas usia pensiun yang berbeda.
Revisi ini memicu kekhawatiran bahwa peran militer dalam kehidupan sipil akan semakin dominan, serta dapat menghambat regenerasi dalam tubuh TNI.
Dengan adanya polemik ini, masyarakat sipil terus mendesak agar kebijakan terkait militer tetap berpegang pada prinsip demokrasi dan supremasi sipil