Membaca Ulang RUU POLRI: Ancaman Baru dalam Bungkus Reformasi
OPINI


Di atas kertas, RUU POLRI tampak seperti upaya memperkuat kelembagaan dan menyesuaikan peran polisi dengan tantangan zaman. Namun jika dicermati lebih dalam, pasal demi pasal dalam rancangan ini justru menghadirkan kekhawatiran baru: melemahnya perlindungan atas hak-hak sipil, dan menguatnya kecenderungan negara untuk mengontrol warga.
Dalam sebuah negara demokrasi, perubahan undang-undang seharusnya memperkuat relasi saling percaya antara aparat dan masyarakat. Namun RUU ini tampak condong pada perluasan kewenangan sepihak tanpa mekanisme pengawasan yang kuat.
Penyadapan Tanpa Pengawasan
Pasal 16B memungkinkan Polri melakukan penyadapan. Namun tidak ada kejelasan mengenai izin, batasan, atau pengawasan dari lembaga independen. Tanpa kontrol yang transparan, penyadapan bukan lagi alat hukum, melainkan instrumen pengintaian. Privasi, yang seharusnya dilindungi, berisiko menjadi korban pertama.
Kontrol Ruang Siber
Pasal 16C memberi Polri kuasa mengawasi dan mengendalikan ruang digital. Ini berarti media sosial, forum publik, hingga komunikasi daring bisa dipantau. Dalam praktiknya, hal ini bisa membuat kritik dipersepsi sebagai ancaman, dan wacana publik kehilangan ruang aman untuk tumbuh.
Profiling Warga
Pasal 16D mengatur bahwa Polri dapat melakukan profiling terhadap individu. Siapa pun dapat dipantau aktivitas, relasi, dan opininya. Tanpa perlindungan data yang kuat, profiling seperti ini membuka ruang pelanggaran hak dan penyalahgunaan.
Peran Polisi dalam Ranah Sipil
RUU juga memperluas kewenangan Polri ke ranah sosial, budaya, dan ekonomi (Pasal 16 Ayat 1). Di sinilah garis pembatas antara pelindung masyarakat dan aktor pengendali mulai kabur. Kehadiran aparat dalam kegiatan sipil yang seharusnya bebas justru bisa menimbulkan tekanan yang tak kasat mata.
Kriminalisasi Pikiran
Pasal 30A menyebutkan bahwa Polri menangani kejahatan ideologi, politik, dan budaya. Tanpa definisi yang tepat, ketentuan ini dapat membuka ruang bagi kriminalisasi atas pemikiran dan ekspresi. Dalam demokrasi, keberagaman pandangan adalah kekayaan, bukan ancaman.
Kekuasaan Tanpa Pengawasan
Yang paling mencemaskan, tidak ada pasal yang secara tegas mengatur pengawasan independen terhadap semua kewenangan baru ini. Dalam sistem demokrasi, setiap kekuasaan harus disertai dengan akuntabilitas. Tanpa itu, hukum bisa berubah jadi alat kekuasaan.
Demokrasi Tak Cukup Dijaga oleh Niat Baik
RUU POLRI menandai titik krusial: apakah demokrasi kita akan tumbuh melalui perlindungan terhadap kebebasan sipil, atau justru mundur karena kekuasaan tanpa batas. Pasal-pasal dalam draf ini bukan sekadar kalimat hukum—ia adalah penentu arah masa depan hubungan antara negara dan rakyatnya.
RUU ini perlu dibahas secara terbuka, dikritisi dengan tajam, dan diperbaiki bersama. Demokrasi tidak akan runtuh oleh kekuatan besar, tapi bisa perlahan terkikis oleh pasal-pasal yang luput dari perhatian.
Catatan:
Draf RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia ini telah dikaji oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada Maret 2024. Dalam kajiannya, YLBHI menyoroti sejumlah pasal bermasalah yang dinilai mengancam hak asasi manusia, memperluas kewenangan Polri secara eksesif, dan melemahkan prinsip akuntabilitas dalam sistem hukum demokratis.
Oleh : Winda Nurmala (Mahaasiswa Ilmu Sosial dan Politik STISIP Guna Nusantara)