Membayangkan Pembubaran Brimob

OPINI

8/29/20252 min read

Membayangkan pembubaran Brimob mungkin terdengar ekstrem. Namun bukankah filsafat lahir dari pertanyaan-pertanyaan berani? Apa jadinya sebuah negara jika alat represi yang selama ini menjadi bayangan gelap rakyat tiba-tiba hilang? Apakah negara akan runtuh, atau justru menemukan kembali wajah aslinya sebagai pelayan rakyat, bukan penakluknya?

Dalam kerangka filsafat politik, institusi hanyalah konstruksi. Ia ciptaan manusia yang bisa lahir, bisa pula mati. Sejarah tidak mengenal lembaga yang abadi. Hanya kedaulatan rakyat yang pantas dianggap sakral. Maka pertanyaannya, mengapa Brimob diperlakukan seolah-olah entitas suci yang tidak boleh disentuh? Jika sebuah institusi lebih sering menimbulkan trauma ketimbang rasa aman, bukankah wajar publik mulai bertanya apa gunanya dipertahankan?

Membayangkan pembubaran Brimob bukan berarti membayangkan kekacauan. Justru sebaliknya, itu adalah upaya mendefinisikan ulang apa arti keamanan. Apakah keamanan berarti derap sepatu lars dan suara tembakan, atau justru ruang di mana rakyat bisa berkumpul tanpa rasa takut? Jika keamanan sejati lahir dari kesepakatan sosial, bukankah tugas negara menjaga kesepakatan itu, bukan malah mengirimkan kendaraan taktis untuk membubarkannya?

Di titik ini, pembubaran bukan lagi sekadar wacana keras, melainkan kritik filosofis. Sudahkah negara benar-benar hadir untuk rakyatnya, atau justru rakyatlah yang selalu harus berhadapan dengan senjata negara? Membayangkan pembubaran Brimob sejatinya adalah membayangkan negara yang berani menanggalkan watak militeristik demi sesuatu yang lebih radikal, yakni kemanusiaan.

Membicarakan Brimob tidak hanya soal pasukan bersenjata lengkap yang kerap tampil gagah, tetapi juga soal watak kekuasaan yang melekat dalam tubuh negara. Sejak lama, Brimob hadir dalam berbagai narasi: konflik agraria, represi buruh, hingga tindakan represif terhadap mahasiswa dan masyarakat sipil. Maka pertanyaannya, dalam negara yang mengaku demokratis dan menjunjung hak asasi manusia, apakah institusi semacam ini masih relevan dipertahankan?

Sejarah menunjukkan bahwa setiap lembaga negara bisa dibentuk dan bisa pula dibubarkan. Tidak ada yang sakral dalam tubuh negara selain kedaulatan rakyat itu sendiri. Membubarkan Brimob berarti menempuh jalur hukum, politik, sekaligus moral. Secara hukum, pembubaran dapat dilakukan melalui revisi Undang-Undang Polri. Secara politik, dibutuhkan tekanan publik yang kuat agar para legislator tidak hanya duduk manis di kursinya. Secara moral, pembubaran hanya mungkin jika masyarakat sepakat bahwa kekerasan negara lebih banyak merugikan daripada melindungi.

Tragedi 28 Agustus 2025 di Jakarta menjadi bukti nyata. Seorang pengemudi ojek online tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi. Video peristiwa itu menyebar luas, memperlihatkan bagaimana alat negara berubah menjadi mesin penggilas rakyat. Korban sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong. Pada titik ini, wacana pembubaran Brimob bukan lagi sekadar obrolan warung kopi, melainkan agenda serius dalam demokrasi.

Namun, membubarkan Brimob tidak berarti menghapus kebutuhan akan rasa aman. Justru sebaliknya, itu adalah upaya mengembalikan makna keamanan ke tangan rakyat. Konstitusi memberi ruang untuk mendesain ulang institusi keamanan dengan pendekatan yang lebih manusiawi, demokratis, dan bebas dari cara-cara barbar. Kita bisa membayangkan model keamanan yang tidak bergantung pada pentungan dan senjata, melainkan pada partisipasi warga, penegakan hukum yang adil, serta kepolisian yang profesional tanpa aroma militeristik.

Filsuf Hannah Arendt pernah menulis bahwa kekuasaan sejati lahir dari kesepakatan, bukan dari laras senjata. Kalimat itu menohok sekaligus mengingatkan bahwa institusi keamanan seharusnya membuat rakyat merasa tenang, bukan trauma setiap kali melihat seragam.

Karena itu, jika hari ini banyak suara lantang menyerukan pembubaran Brimob, itu bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan alarm sosial yang keras. Negara wajib mendengar. Sebab, negara yang menutup telinga terhadap kritik rakyatnya pada dasarnya sedang menggali lubang kuburnya sendiri.

Oleh : Dhiya Muhammad Dzaki (Rakyat Biasa)