Pakar Ungkap Penyebab Pemerintah Dinilai Gagal Melindungi Kebebasan Pers

POLITIK

Admin

3/23/20252 min read

Dalam waktu kurang dari sepekan, kantor redaksi Tempo mengalami dua kali teror dengan menerima paket berisi bangkai hewan. Kejadian ini semakin memicu kekhawatiran terhadap meningkatnya ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia.

Paket pertama diterima pada Rabu, 19 Maret 2025, dan paket kedua tiba pada Sabtu dini hari, 22 Maret 2025.

Paket pertama dikirim oleh seorang kurir dengan atribut layanan pengiriman dan ditujukan kepada Francisca Christy Rosana atau Cica, jurnalis yang meliput bidang politik sekaligus pembawa acara siniar Bocor Alus Politik. Setelah dibuka, isi paket tersebut ternyata adalah kepala babi yang telinganya telah dipotong.

Sementara itu, paket kedua ditemukan oleh seorang petugas kebersihan bernama Agus di kantor Tempo. Paket tersebut terbungkus kertas kado bermotif bunga mawar merah dan tampak penyok akibat dilempar. Ketika dibuka, di dalamnya terdapat enam bangkai tikus dengan kepala yang telah dipenggal.

Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasa, menilai bahwa insiden ini merupakan bentuk nyata dari upaya intimidasi terhadap kerja jurnalistik yang dilakukan oleh Tempo. “Pengirimnya jelas memiliki niat untuk meneror jurnalis,” ujar Setri dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 22 Maret 2025.

Mengapa Serangan terhadap Kebebasan Pers Terus Terjadi?

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetya Utomo, menilai ada dua faktor utama yang menyebabkan serangan terhadap jurnalis terus berulang.

Pertama, lemahnya penegakan hukum yang berujung pada impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

“Jarang sekali ada tindakan hukum yang tegas terhadap kasus-kasus serangan terhadap jurnalis,” kata Wisnu saat dihubungi melalui aplikasi pesan pada Sabtu, 22 Maret 2025.

Faktor kedua adalah normalisasi ancaman terhadap kebebasan pers oleh pejabat publik. Menurut Wisnu, banyak pejabat yang meremehkan atau bahkan tidak menganggap serius kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.

“Ketika tidak ada tindakan tegas dan ancaman semacam ini justru dianggap hal biasa, maka para pelaku kekerasan semakin berani,” lanjutnya.

Tren Penurunan Kebebasan Pers di Indonesia

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dewan Pers pada 2024, Indeks Kebebasan Pers (IKP) Indonesia tercatat di angka 69,36, turun dari 71,57 pada tahun sebelumnya. Tren penurunan ini sudah terjadi sejak 2022.

“Dalam lima tahun terakhir, kondisi kebebasan pers di Indonesia memburuk,” kata Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, dalam wawancara via telepon pada Sabtu, 22 Maret 2025.

Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan bahwa pada 2024 terdapat 73 kasus serangan terhadap jurnalis. Sementara itu, dalam kurun Januari hingga Maret 2025, AJI telah memverifikasi 20 kasus serupa.

“Pelaku serangan terbesar masih berasal dari aparat kepolisian. Namun, belakangan ini ada peningkatan tren keterlibatan aparat militer,” ujar Erick.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai tren kekerasan terhadap jurnalis sejalan dengan pola kepemimpinan pemerintah dan DPR yang semakin antikritik.

“Alih-alih menerima kritik sebagai masukan, mereka justru menganggap kritik sebagai ancaman yang mengganggu kekuasaan,” kata Isnur dalam rekaman suara yang dikirimkan kepada Tempo, Sabtu, 22 Maret 2025.

Lebih parahnya lagi, negara tidak hanya dianggap lalai dalam melindungi kebebasan pers, tetapi juga diduga turut berperan sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

“Dalam beberapa kasus, justru pejabat negara sendiri yang menghalangi kerja jurnalistik, bahkan terlibat langsung dalam kekerasan terhadap jurnalis,” tutup Erick Tanjung.