Poin-Poin Penting dalam Draf RUU KUHAP yang Dibahas Komisi III DPR Hari Ini

POLITIK

Admin

3/26/20252 min read

Komisi III DPR RI terus membahas draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang mengatur berbagai aspek dalam mekanisme hukum pidana, mulai dari tahap penyidikan hingga penerapan keadilan restoratif.

Terbaru, Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan perwakilan advokat dan masyarakat sipil di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin (24/3). Berikut adalah beberapa poin utama dalam draf RUU KUHAP berdasarkan rangkuman dari CNNIndonesia.com:

1. Penghinaan Presiden Bisa Diselesaikan dengan Keadilan Restoratif

Komisi III DPR RI telah merevisi ketentuan dalam draf RUU KUHAP yang sebelumnya menyatakan bahwa tindak pidana penghinaan terhadap presiden tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menjelaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 77 Bab IV tentang Mekanisme Keadilan Restoratif sebelumnya mengandung kekeliruan.

"Terdapat kesalahan redaksional dalam draf yang kami publikasikan sebelumnya, di mana seharusnya Pasal 77 tidak mencantumkan penghinaan presiden dalam KUHP sebagai tindak pidana yang dikecualikan dari mekanisme keadilan restoratif," jelas Habib dalam keterangan tertulis, Senin (24/3).

Kini, dua jenis tindak pidana dalam Pasal 77 telah dihapus sehingga bisa diselesaikan melalui pendekatan restorative justice. Dua ketentuan yang dihapus adalah:

Tindak pidana dengan ancaman pidana minimum khusus.

Tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan wakilnya, ketertiban umum, serta kesusilaan.

2. Siaran Langsung Sidang Tanpa Izin Bisa Dipidana

Draf RUU KUHAP juga mengatur tata tertib persidangan. Dalam Pasal 253 ayat (3), dinyatakan bahwa siapa pun yang berada di ruang sidang dilarang menyiarkan jalannya persidangan secara langsung tanpa izin dari pengadilan.

"Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan," bunyi ketentuan dalam pasal tersebut.

Jika pelarangan ini dilanggar, maka sesuai ayat (4), pelaku bisa diproses hukum pidana.

"Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu undang-undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang tersebut," tulis pasal tersebut.

3. Pemeriksaan Tersangka Tidak Wajib Direkam CCTV

Terkait penyidikan, draf RUU KUHAP mengatur bahwa penggunaan kamera pengawas (CCTV) dalam pemeriksaan tersangka bersifat opsional. Dalam Pasal 31 ayat (2), disebutkan bahwa pemeriksaan tersangka dapat direkam menggunakan kamera pengawas, tetapi tidak diwajibkan.

"Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung," demikian isi pasal tersebut.

Tidak adanya kewajiban ini menimbulkan pertanyaan terkait transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemeriksaan tersangka oleh penyidik.

4. Advokat Tidak Bisa Dituntut Pidana Saat Membela Klien

Pasal 140 ayat (2) dalam draf RUU KUHAP mengatur bahwa advokat tidak dapat dikenai tuntutan pidana maupun perdata selama mereka menjalankan tugasnya dalam membela klien.

Ketentuan ini merupakan hasil persetujuan Komisi III DPR atas usulan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia (PERADI-SAI), Juniver Girsang, dalam RDPU.

"Advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan," bunyi pasal tersebut.