PP Muhammadiyah Soroti UU TNI

POLITIK

Admin

3/26/20251 min read

Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah memberikan tanggapan terkait pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menekankan pentingnya kajian yang mendalam mengenai keterlibatan militer dalam pemerintahan. Ia menyoroti perdebatan klasik antara peran sipil dan militer dalam demokrasi Indonesia.

"Jika dua entitas ini terus dipertentangkan tanpa solusi yang jelas, maka perdebatan ini tidak akan pernah menemukan titik temu. Kita perlu mengurai ulang perspektif yang melandasi perdebatan ini," ujar Haedar dalam acara buka puasa bersama di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (25/3/2025).

Haedar juga mengkritisi kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan UU TNI. Menurutnya, DPR tidak memberikan ruang yang cukup bagi publik untuk memberikan masukan terhadap perubahan undang-undang tersebut.

"Proses penyusunan undang-undang seharusnya dilakukan dengan transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas. Sejak tahap awal, termasuk dalam penyusunan naskah akademik, masyarakat perlu dilibatkan agar hasilnya benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat," tegasnya.

Terkait kemungkinan judicial review (JR) terhadap UU TNI, Haedar menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan ikut mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai, jika sudah ada pihak lain yang mengajukan uji materi, maka Muhammadiyah tidak perlu menambah pengajuan serupa.

"Kami tidak merasa perlu untuk mengajukan judicial review tambahan. Jika memang sudah ada yang membawa perkara ini ke MK, biarlah proses itu berjalan sesuai mekanisme yang ada," ujar Haedar.

Lebih lanjut, ia menyoroti persoalan jabatan sipil yang diisi oleh personel militer tanpa melepas statusnya sebagai anggota TNI. Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam tatanan pemerintahan.

"Jika tidak ada kejelasan aturan terkait hal ini, maka kita bisa menghadapi masalah di kemudian hari. Di sisi lain, jika entitas sipil tidak memiliki sistem yang kuat, demokrasi kita berisiko dikuasai oleh oligarki," ungkapnya.

Haedar juga menyinggung konsep supremasi sipil yang sering digunakan dalam teori demokrasi liberal. Menurutnya, konsep tersebut perlu dikaji lebih lanjut dalam konteks sistem ketatanegaraan Indonesia.

"Dalam sejarah ketatanegaraan kita, peran sipil dan militer tidak selalu menjadi persoalan. Namun, dengan munculnya konsep supremasi sipil, kita perlu memastikan apakah benar-benar sejalan dengan karakter demokrasi yang kita bangun," tutup Haedar.