Rakyat Bukan Sekadar Perut: Kontra atas Determinisme Ekonomi Menkeu

Penulis : Dhiya Muhammad Dzaki

OPINI

9/9/20252 min read

Sejak zaman Yunani kuno, Aristoteles sudah menekankan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk politik) yang memiliki kebutuhan bukan hanya material, tetapi juga partisipasi, pengakuan, dan keadilan dalam tata kelola. Rousseau, dalam The Social Contract, mengingatkan bahwa kontrak sosial antara rakyat dan negara bukan semata tentang distribusi sumber daya, tetapi tentang legitimasi kekuasaan, transparansi, dan perlindungan hak. Dengan kerangka ini, sebuah masyarakat yang hanya dijanjikan pertumbuhan ekonomi, tanpa ruang bagi partisipasi politik dan pemenuhan keadilan, tetap akan mengalami ketegangan sosial.

Pandangan ini diperkuat oleh teori ekonomi-politik kontemporer. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, menegaskan bahwa pembangunan sejati bukan sekadar pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), melainkan perluasan kebebasan substantif warga negara untuk hidup bermartabat, mengkritik, berpartisipasi, dan memperoleh perlakuan adil (expansion of freedoms). Data lintas negara menunjukkan korelasi yang lemah antara pertumbuhan ekonomi dan kepuasan politik. Negara-negara dengan pertumbuhan tinggi seperti Tiongkok, India, atau bahkan Indonesia pada periode 1980–1990-an tetap menghadapi gelombang protes, reformasi, dan bahkan pergantian rezim. Dengan kata lain, ketidakpuasan politik bukanlah fungsi tunggal dari pertumbuhan ekonomi, melainkan refleksi dari defisit demokrasi, keadilan hukum, dan distribusi manfaat pembangunan.

Jika benar pertumbuhan ekonomi otomatis menurunkan protes sosial, maka negara-negara dengan PDB tinggi seharusnya steril dari demonstrasi. Namun, kenyataannya Amerika Serikat tetap dilanda protes terkait rasisme, ketimpangan, dan kebijakan luar negeri; Korea Selatan, dengan pertumbuhan pesat pada 1980–1990, menghadapi gelombang besar menuntut demokratisasi; sementara Indonesia sendiri, pada era Orde Baru dengan pertumbuhan tinggi, tidak lepas dari kritik struktural yang akhirnya berujung pada reformasi 1998. Ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak serta-merta meredam keresahan rakyat.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi tidak menjamin distribusi yang adil. Peningkatan PDB bisa saja terkonsentrasi pada segelintir elite melalui jaringan oligarki politik-ekonomi. Tanpa reformasi struktural, ketimpangan akan semakin tajam. Keresahan rakyat yang dituangkan dalam “17+8 Tuntutan” justru lahir dari pengalaman konkret mengenai ketidakadilan distribusi, penyalahgunaan kewenangan, dan lemahnya akuntabilitas. Dengan demikian, janji pertumbuhan ekonomi tidak menjawab inti persoalan.

Kesejahteraan material juga tidak bisa menggantikan kebutuhan akan keadilan sosial. Mazhab Frankfurt menegaskan bahwa masyarakat modern mengalami “krisis legitimasi”: bahkan jika kebutuhan material terpenuhi, rakyat tetap akan resah ketika sistem politik dianggap represif, korup, atau tidak akuntabel. Alienasi politik akan tetap melahirkan protes, meskipun perut kenyang.

Hal lain yang perlu dipahami adalah bahwa tuntutan rakyat selalu multidimensional, bukan monodimensi. “17+8 Tuntutan Rakyat” jelas berisi isu yang melampaui soal ekonomi: akuntabilitas DPR, revisi UU TNI, desentralisasi kepolisian, dan penguatan lembaga HAM. Semua ini adalah aspek struktural yang tidak otomatis terselesaikan dengan kenaikan PDB. Menyamakan protes dengan sekadar keresahan ekonomi adalah reduksi yang simplistik.

Dengan demikian, klaim Menkeu Purbaya bahwa pertumbuhan ekonomi 6–7% akan otomatis menghapus keresahan rakyat bersifat deterministik dan ekonomistik sempit. Logika tersebut gagal memahami hakikat manusia sebagai makhluk politik yang membutuhkan keadilan dan partisipasi. Fakta empiris menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sering berjalan seiring dengan meningkatnya protes sosial bila distribusi tidak adil dan institusi rapuh. Substansi “17+8 Tuntutan Rakyat” tidak bisa dijawab dengan angka PDB semata, melainkan dengan reformasi struktural, transparansi, dan penghormatan hak asasi.

Pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi ia adalah syarat perlu, bukan syarat cukup, untuk membangun masyarakat yang damai dan demokratis. Menyederhanakan protes rakyat sebagai masalah “perut” semata bukan hanya keliru secara ilmiah, tetapi juga mereduksi harkat politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.