RAMADHAN TELAH USAI: LEBIH BAIK PUASA RAMADHAN DARIPADA PUASA KEKUASAAN

OPINI

Admin

3/31/20252 min read

Bulan Ramadhan selalu identik dengan pengekangan diri, refleksi spiritual, dan peningkatan ketakwaan. Namun, ada satu bentuk "puasa" yang mungkin tidak banyak disadari, tetapi jauh lebih merusak bagi jiwa dan peradaban kita: puasa kekuasaan. Dalam konteks ini, puasa kekuasaan merujuk pada keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaan, pengaruh, atau kontrol tanpa memperhatikan aspek moral, etika, dan kemanusiaan.

Puasa Ramadhan mengajarkan kita untuk menahan diri, bukan hanya dari makanan dan minuman, tetapi juga dari hawa nafsu duniawi, kebencian, dan kemarahan. Ia mengajak kita untuk lebih merenung, lebih berempati, dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ini adalah bentuk puasa yang membawa kedamaian dan pencerahan. Namun, puasa kekuasaan—yang mungkin lebih tersembunyi dalam kehidupan sosial dan politik kita—merupakan keinginan yang lebih destruktif, berfokus pada penindasan dan pengendalian, bukan pengendalian diri.

Seperti yang dikatakan oleh filsuf Jean-Paul Sartre, "Kebebasan adalah kemampuan untuk memilih diri kita sendiri." Puasa Ramadhan memberi kita kebebasan dalam arti yang paling murni: kebebasan untuk memilih hidup yang lebih baik, lebih berbudi, dan lebih berbagi. Sebaliknya, puasa kekuasaan adalah ilusi kebebasan yang hanya memperbudak kita pada ambisi pribadi dan ego, mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan demi keuntungan pribadi.

Ketika seseorang terobsesi dengan kekuasaan, ia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan posisi atau pengaruhnya, bahkan dengan cara-cara yang merusak moralitas, etika, dan demokrasi. Dalam hal ini, Friedrich Nietzsche pernah berkata, "Siapa yang berjuang dengan monster harus menjaga agar dia sendiri tidak menjadi monster." Orang yang terobsesi dengan kekuasaan sering kali kehilangan arah dan moralitas, dan tanpa disadari, mereka bisa menjadi apa yang mereka lawan.

Puasa kekuasaan, yang sering kali diartikan sebagai obsesi dengan mempertahankan atau merebut kekuasaan, membawa dampak yang jauh lebih besar. Kita melihatnya dalam banyak contoh sejarah dan kehidupan sehari-hari: para pemimpin yang terjebak dalam "puasa kekuasaan" sering kali lebih mengutamakan ambisi pribadi daripada kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang diambil tidak lagi berpihak kepada rakyat, tetapi justru untuk mempertahankan kedudukan mereka. Inilah bentuk kekuasaan yang rapuh—di mana keserakahan dan ketakutan menggerogoti nilai-nilai dasar yang harusnya dipegang teguh oleh seorang pemimpin.

Berbeda dengan puasa Ramadhan, yang mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri, puasa kekuasaan justru mengajarkan ketamakan dan kecenderungan untuk mengeksploitasi. Di bulan Ramadhan, kita diajarkan untuk lebih empati kepada sesama, memahami penderitaan orang lain, dan berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang beruntung. Albert Einstein pernah mengatakan, "Hanya ada dua cara untuk hidup: satu adalah seolah-olah tidak ada keajaiban; yang lainnya adalah seolah-olah segala sesuatu adalah keajaiban." Puasa Ramadhan adalah cara kita melihat keajaiban kehidupan dan menghargai setiap momen dengan penuh kesadaran. Sebaliknya, puasa kekuasaan menutup mata kita terhadap keajaiban kemanusiaan dan hanya fokus pada keuntungan pribadi.

Jadi, apakah puasa kekuasaan lebih baik daripada puasa Ramadhan? Tentu saja tidak. Plato dalam karyanya "Republik" mengingatkan kita, "Keadilan bukanlah sekadar memberi setiap orang apa yang menjadi haknya, tetapi juga menghormati martabat kemanusiaan." Puasa Ramadhan membawa kita pada kesadaran yang lebih tinggi tentang diri kita sendiri dan hubungan kita dengan Tuhan, sementara puasa kekuasaan hanya membawa pada kebusukan moral dan kerusakan sosial. Jika kita ingin melihat dunia yang lebih adil dan damai, maka lebih baik kita memilih puasa yang penuh kesadaran, puasa Ramadhan, dibandingkan dengan "puasa" yang beracun ini.

Dengan kata lain, puasa Ramadhan adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi, dan meraih kedamaian sejati. Sementara puasa kekuasaan hanya akan mengaburkan pandangan kita, membuat kita lupa pada makna sejati kehidupan. Maka, lebih baik kita berpuasa dalam arti yang menguatkan jiwa dan moralitas, daripada terjebak dalam "puasa" yang menghancurkan semuanya.

Penulis : Wais Kumizalmi (Hamba yang Berusaha Taat)