RUU Polri Menunggu Surpres, DPR Tegaskan Belum Ada Pembahasan Resmi
POLITIK


DPR masih menanti Surat Presiden (Surpres) sebelum membahas revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri). Ketua DPR Puan Maharani menepis isu yang menyebut bahwa revisi UU Polri akan segera dibahas setelah revisi UU TNI disahkan.
Menurut Puan, jika ada informasi yang beredar mengenai Surpres, maka itu bukanlah dokumen resmi dari Presiden Prabowo Subianto. Ia juga memastikan bahwa daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Polri yang tersebar di publik bukan draf final karena DPR belum menerima Surpres tersebut.
“Kalau sudah ada DIM yang beredar, itu bukan DIM resmi,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/3/2025).
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menegaskan bahwa revisi UU Polri belum masuk dalam agenda terdekat DPR. “Sampai sekarang belum ada Surpres terkait RUU Polri. Jadi, belum ada rencana pembahasan dalam waktu dekat,” ujar Dasco pada Senin (24/3/2025).
Perubahan Krusial dalam RUU Polri
Draf RUU Polri yang beredar mencakup sejumlah perubahan signifikan, salah satunya pada Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal ini mengatur kewenangan Polri dalam melakukan tindakan terhadap akses ruang siber, termasuk pemblokiran atau pemutusan akses demi kepentingan keamanan nasional.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai aturan ini bisa berpotensi menghambat kebebasan berpendapat. Mereka juga khawatir kewenangan tersebut tumpang tindih dengan tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Selain itu, Pasal 14 ayat 1 huruf g juga menjadi sorotan karena memperluas tugas Polri dalam mengawasi dan membina kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, serta satuan pengamanan swakarsa. Menurut koalisi, hal ini berpotensi menjadikan Polri sebagai lembaga dengan kekuasaan yang terlalu luas, serta membuka celah bagi pelanggaran HAM dan bisnis keamanan yang tidak transparan.
Pasal lain yang menuai kritik adalah Pasal 16A yang memberikan Polri kewenangan lebih besar dalam mengelola intelijen keamanan. Dengan aturan ini, Polri dapat meminta informasi intelijen dari lembaga lain seperti BSSN dan Badan Intelijen Strategis TNI. Koalisi Masyarakat Sipil menilai kebijakan ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pembagian kewenangan antarinstansi.
Usia Pensiun Diperpanjang, Regenerasi Polri Dipertanyakan
Salah satu usulan dalam revisi UU Polri adalah perpanjangan usia pensiun, yang diatur dalam Pasal 30 ayat 2. Dalam draf RUU ini, usia pensiun anggota Polri diusulkan naik menjadi 60 tahun. Sementara itu, anggota dengan keahlian khusus dapat bertugas hingga usia 62 tahun, dan pejabat fungsional hingga 65 tahun.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai kebijakan ini dapat menghambat regenerasi dalam tubuh Polri dan memperburuk persoalan penumpukan perwira menengah serta tinggi. Mereka juga menyoroti dampaknya terhadap efektivitas kepolisian dalam menangani tantangan keamanan yang terus berkembang.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mendesak pemerintah dan DPR agar tidak tergesa-gesa dalam menyusun regulasi yang berpengaruh besar terhadap tata kelola kepolisian. “Kami menolak keras revisi UU Polri yang dibuat tanpa transparansi dan partisipasi publik yang cukup,” kata Isnur, Minggu (23/3/2025).
DPR Pastikan Pembahasan Akan Terbuka
Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, menegaskan bahwa jika pembahasan revisi UU Polri dilakukan, prosesnya akan berlangsung secara transparan.
“Kami selalu terbuka dalam membahas undang-undang. Publik akan bisa melihat bagaimana prosesnya, seperti yang kami lakukan dalam revisi KUHAP,” ujar Hinca pada Senin (24/3/2025).
Komisi III DPR juga berencana mengundang berbagai pihak, termasuk akademisi dan organisasi masyarakat sipil, untuk memberikan masukan dalam pembahasan ini. Hinca memastikan bahwa segala kebijakan yang diambil nantinya akan mempertimbangkan kepentingan publik secara luas.