Satgas PHK: Serikat Buruh Sudah Tidak Dibutuhkan Lagi?
OPINI


Kita hidup dalam zaman ketika perlawanan tidak dibungkam, tapi dikooptasi. Ketika suara-suara kritis tidak disingkirkan, melainkan dilibatkan. Dan itulah yang terjadi hari ini terhadap serikat buruh, melalui kehadiran satu lembaga yang sedang naik daun: Satgas PHK (Satuan Tugas Penyelesaian Kasus Pemutusan Hubungan Kerja).
Di tengah badai ketidakpastian ekonomi, gelombang PHK massal, dan melemahnya daya tawar buruh, Satgas PHK muncul seperti solusi yang adil dan beradab. Ia disebut responsif, cepat, melibatkan negara, pengusaha, dan serikat buruh. Tapi di sinilah letak persoalannya: apakah kita sedang menyaksikan bentuk baru dari penyelesaian konflik, atau justru sebuah mekanisme hegemonik yang menggantikan fungsi historis perlawanan kelas?
Untuk menjawab itu, kita perlu melibatkan pendekatan filosofis.
Marcuse dan Rekonsiliasi Palsu: Penyelesaian yang Membius
Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man mengkritik bagaimana kapitalisme modern menciptakan rekonsiliasi palsu—sebuah sistem yang tampak memberi solusi, tapi sejatinya memadamkan konflik yang sah. Satgas PHK mencerminkan hal ini. Ia hadir bukan untuk menyelesaikan akar persoalan relasi kerja yang timpang, tapi untuk mengelola gejalanya secara administratif. Buruh tidak lagi diajak membangun kekuatan kolektif, melainkan diarahkan pada mekanisme penyelesaian kasus. Konflik yang seharusnya politis direduksi menjadi teknis. Satgas PHK adalah bentuk dari kenyamanan palsu. Ia menawarkan rasa damai, tapi membunuh semangat untuk mengubah struktur kerja yang eksploitatif.
Foucault dan Mekanisme Kekuasaan: Kontrol Lewat Kelembagaan
Michel Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan modern bekerja bukan lewat represi, tapi melalui normalisasi. Ia menyusup dalam sistem, prosedur, dan lembaga. Dalam Discipline and Punish, ia menyebut ini sebagai “rejim kebenaran”. Satgas PHK adalah bagian dari rejim itu. Buruh tidak lagi melakukan perlawanan terbuka. Mereka diarahkan untuk mengisi formulir, menunggu keputusan, dan tunduk pada hasil mediasi. Ketaatan tidak dipaksa, tapi dibentuk oleh logika administrasi. Dengan melibatkan serikat buruh di dalamnya, kekuasaan menjadi lebih halus dan diterima. Tapi efeknya sangat dalam: buruh kehilangan inisiatif perjuangan, dan seolah-olah keadilan kini bisa dicapai dengan sabar menunggu.
Gramsci dan Hegemoni: Ketika Perlawanan Ikut Mengatur Sistem
Antonio Gramsci menyebut hegemoni sebagai kekuasaan yang dibangun melalui persetujuan, bukan dominasi. Ketika serikat buruh menjadi bagian dari sistem Satgas PHK, mereka kehilangan posisi sebagai oposisi. Mereka menjadi bagian dari sistem yang mereka kritik. Ini adalah kemenangan kapitalisme: mengundang lawannya untuk duduk bersama, lalu mengubahnya jadi bagian dari kendali. Serikat buruh tidak dibungkam. Tapi juga tidak mengguncang. Mereka hadir, tapi kehilangan nyala politiknya.
Ilusi Kesetaraan: Dari Bipartit ke Satgas PHK
Sudah lama buruh diarahkan melalui jalur penyelesaian formal: bipartit, tripartit, hingga PHI. Tapi semua mekanisme itu bekerja dalam sistem yang timpang:
Bipartit macet karena posisi buruh dan pengusaha tidak setara.
Tripartit lemah karena negara tidak netral.
PHI menyulitkan karena mahal, lambat, dan prosedural.
Satgas PHK hadir sebagai “jalan tengah”. Tapi sesungguhnya ia adalah ekstensi dari logika yang sama: meredam, bukan membebaskan. Ia membuat konflik tampak tertangani, padahal daya perlawanan buruh tengah dimatikan secara perlahan.
Jika Semua Diatur, Maka Untuk Apa Serikat Buruh?
Inilah pertanyaan paling sunyi tapi paling penting hari ini. Jika semua konflik bisa “diselesaikan” lewat prosedur negara, apa makna serikat buruh? Jawabannya: serikat buruh akan kehilangan maknanya jika hanya menjadi operator administrasi sistem yang menindas. Ia hanya akan menjadi pelengkap dalam forum mediasi, bukan sebagai kekuatan transformasi. Serikat harus kembali menjadi basis pendidikan kelas, ruang konsolidasi, dan kekuatan kolektif. Ia harus bergerak di luar logika formal prosedural, dan kembali ke jantung perlawanan: kesadaran kelas, aksi kolektif, dan keberanian untuk menolak tunduk.
Satgas PHK Sebagai Cermin Zaman
Satgas PHK bukan sekadar satuan tugas. Ia adalah simbol zaman: zaman yang lebih suka mengatur daripada memberdayakan, yang lebih suka mengelola konflik daripada menyelesaikan ketimpangan. Buruh tidak butuh Satgas jika mereka punya kekuatan kolektif. Buruh tidak butuh formulir pengaduan jika mereka punya solidaritas kelas. Dan serikat buruh tidak akan dibutuhkan, jika mereka hanya duduk dan menyetujui semua itu. Hari ini, pertanyaannya bukan: “Apakah Satgas PHK adil?” Tapi: “Masih adakah ruang untuk perlawanan di tengah prosedur yang menenangkan itu?” Karena sejarah selalu berpihak pada mereka yang bergerak, bukan menunggu.
Oleh : Dhiya Muhammad Dzaki (Buruh yang Melawan)