Setelah RUU TNI Disahkan, DPR Siap Bahas Revisi UU Polri

POLITIK

Admin

3/23/20252 min read

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemungkinan akan segera membahas revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) setelah sebelumnya mengesahkan revisi UU Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Ketua DPR, Puan Maharani, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu surat presiden (surpres) terkait RUU Polri sebelum pembahasan dapat dimulai.

“Hingga saat ini belum ada surpres. Kami masih akan melihat perkembangan selanjutnya,” ujar Puan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 20 Maret 2025.

RUU Polri merupakan bagian dari rancangan undang-undang inisiatif DPR yang telah mulai dibahas sejak 2024. Beberapa pasal dalam RUU tersebut diusulkan untuk mengalami perubahan, termasuk yang berkaitan dengan kewenangan kepolisian dalam ruang siber, pengawasan terhadap penyidik lain, hingga batas usia pensiun anggota Polri.

Kewenangan Siber dan Polemik yang Muncul

Salah satu perubahan yang diusulkan dalam draf RUU Polri tertuang dalam Pasal 16 ayat 1 huruf q, yang memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan pemblokiran, pemutusan, serta perlambatan akses ruang siber demi kepentingan keamanan dalam negeri.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengkritisi pasal ini, karena dinilai berpotensi membatasi kebebasan berekspresi publik. Selain itu, kewenangan ini dianggap bisa tumpang tindih dengan tugas Kementerian Komunikasi dan Digital serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Pasal lain yang menjadi sorotan adalah Pasal 14 ayat 1 huruf g, yang mengatur bahwa Polri akan memiliki wewenang untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang diatur oleh undang-undang, serta bentuk pengamanan swakarsa.

Kelompok masyarakat sipil menilai pasal ini bisa memperkuat peran Polri sebagai “superbody investigator” yang memiliki kewenangan terlalu luas. Selain itu, adanya kewenangan untuk membina pengamanan swakarsa dinilai berisiko membuka celah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta peluang “bisnis keamanan” yang tidak transparan.

Kontroversi Batas Usia Pensiun dan Kewenangan Intelijen

Draf RUU Polri juga mencantumkan ketentuan dalam Pasal 16A yang memberikan wewenang kepada Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang intelijen keamanan (Intelkam) sebagai bagian dari kebijakan nasional.

Koalisi Masyarakat Sipil mengkhawatirkan pasal ini karena dianggap akan membuat kewenangan intelijen Polri melampaui lembaga-lembaga lain yang memiliki fungsi serupa, seperti BSSN dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Mereka menilai ketentuan ini dapat memberikan hak bagi Polri untuk meminta data intelijen dari lembaga-lembaga lain tanpa batasan yang jelas.

Selain itu, usulan perpanjangan batas usia pensiun juga menjadi topik yang diperdebatkan. Dalam Pasal 30 ayat 2, batas usia pensiun diusulkan menjadi 60 tahun bagi anggota Polri, 62 tahun bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan masih dibutuhkan, serta 65 tahun bagi pejabat fungsional.

Kelompok masyarakat sipil menilai perpanjangan usia pensiun ini bisa menghambat regenerasi di tubuh Polri serta memperparah permasalahan penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah.

Desakan untuk Memprioritaskan RUU Lain

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, meminta agar DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dalam menyusun regulasi, termasuk dalam pembahasan revisi UU Polri.

Ia mendesak agar DPR lebih dulu memprioritaskan pembahasan rancangan undang-undang lain yang dinilai lebih mendesak, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Perampasan Aset, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), RUU Penyadapan, serta RUU Masyarakat Adat.

“Kami dengan tegas menolak revisi UU Polri yang diusulkan oleh DPR ini,” kata Isnur pada Minggu, 23 Maret 2025.