Tarif Resiprokal AS: Alarm PHK Massal dan Ancaman bagi Investor di Industri Padat Karya

OPINI

4/7/20252 min read

Amerika Serikat baru-baru ini menerapkan tarif resiprokal terhadap berbagai produk impor, termasuk dari Indonesia. Kebijakan ini mungkin terdengar seperti urusan antarnegara, tetapi bagi investor—terutama di sektor padat karya yang berorientasi ekspor—ini bisa menjadi awal dari krisis industri dan sosial.

Tarif Naik Tajam 32%

Sebelum kebijakan ini diberlakukan, produk Indonesia yang masuk ke pasar AS dikenakan tarif impor rata-rata sekitar 14,5%. Namun per 9 April 2025, AS resmi menambahkan:
10% tarif dasar untuk semua negara
22% tarif tambahan untuk negara tertentu, termasuk Indonesia

Totalnya menjadi 32%, atau lebih dari dua kali lipat dari sebelumnya. Ini jelas membuat produk Indonesia jadi jauh lebih mahal di pasar Amerika.

Dampak Langsung: Pesanan Menurun, PHK Mengancam
Bagi pabrik-pabrik yang selama ini mengandalkan ekspor ke Amerika, kenaikan tarif ini akan berdampak besar:

  1. Buyer atau importir dari AS kemungkinan akan mengurangi atau bahkan membatalkan order, karena harga produk Indonesia tidak lagi kompetitif.

  2. Investor yang selama ini menanamkan modal di sektor padat karya akan mempertimbangkan relokasi ke negara yang tarifnya lebih rendah, seperti Vietnam atau Bangladesh.

  3. Ketika pesanan turun dan efisiensi menjadi keharusan, maka PHK bisa menjadi pilihan terakhir yang tak terelakkan.

Ini bukan soal kemungkinan, tapi soal waktu. Dan dampaknya bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial. Ratusan ribu buruh—yang menggantungkan hidup pada gaji bulanan di sektor ekspor—bisa kehilangan pekerjaan.

Ketimpangan dalam Sistem Global

Jika kita telaah lebih dalam, kebijakan tarif resiprokal ini memperlihatkan ketimpangan dalam sistem perdagangan global. Negara besar seperti AS bisa mengatur ulang aturan main demi melindungi industrinya sendiri, tanpa mempertimbangkan efek domino ke negara berkembang. Inilah bentuk dari hegemoni ekonomi: kekuatan besar menetapkan aturan, dan negara kecil harus menyesuaikan—even when it hurts.

Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

  1. Negosiasi dagang bilateral harus segera dilakukan untuk menekan beban tarif.

  2. Diversifikasi pasar ekspor perlu dipercepat—jangan hanya bergantung pada AS.

  3. Pemerintah perlu memberikan insentif dan perlindungan bagi investor padat karya, agar tidak buru-buru hengkang.

  4. Siapkan program penyerapan tenaga kerja dan pelatihan ulang untuk pekerja terdampak PHK.

  5. Strategi hilirisasi dan penguatan pasar domestik harus didorong, agar ekonomi tidak terlalu bergantung pada pasar luar.

Harapan di Tengah Tantangan

Meski kebijakan ini menghadirkan tantangan berat, Indonesia tidak berdiri tanpa pilihan. Dalam sejarahnya, bangsa ini berkali-kali membuktikan bahwa tekanan bisa menjadi pemicu transformasi. Tarif tinggi bisa jadi pintu masuk bagi kebijakan industri yang lebih mandiri, pasar ekspor yang lebih luas, dan struktur ekonomi yang lebih tangguh. Harapannya, krisis ini menjadi momentum untuk menata ulang arah pembangunan industri nasional: dari yang hanya mengejar ekspor murah, menjadi negara yang kuat dalam inovasi, nilai tambah, dan perlindungan terhadap buruh dan investornya sendiri. Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukanlah yang bebas dari cobaan, tapi yang mampu menjawabnya dengan kecerdasan dan keberanian.

Kontributor : Fahmi Dwi Fauzi (Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BISS)